Galery

Selasa, 14 November 2017

Sosial media in sosial life

Tidak ada yang benar benar aman di sosial media.
hmm apakah saya yang terlalu parno(paranoid) ya?.
Akhir-akhir ini saya banyak mendapati bacaan tentang keresahan orang-orang terhadap banjirnya informasi dari sosial media yang tidak terbendung. Entah itu berita positif sampai berita hoax. Belum lagi sosial media kini dipakai sebagai "tempat curhat"nya dari anak SD sampai ibu-ibu muda seperti saya hehehe.
Dan seperti sebuah "wabah" ataupun "banjir" yang tidak terbendung, kini mudah sekali orang-orang (termasuk saya..dulunyaa sebelum insap yak) berlaku seperti itu..contohnya updet yang remeh remeh.. Hmm "lagi bete.. " mau ini mau itu updet.. Lagi ini lagi itu tiap satu jam updet... Haha (kok saya begini.. Yaa suka suka orang lah yaaa 😅)

Updet di sosial media seperti trend gaya hidup baru yang diusung oleh generasi zaman now (hallahhh...wkwk) tapii masih ada juga teman yg suka koment kalau saya juga termasuk sering updet (walau perasaan saya jarang)  hahaha.. Susah yaa mendengar penilaian orang lain 😅
Sebenarnya disebut "pamer" di sosial media atau tergolong biasa saja,  saya pikir karena pikiran seseorang aja sih.. Yaaa tergantung cara pandang masing masing orang... Kalau kita sudah punya bibit ketidak sukaan pada seseorang pasti kita akan ambil negatifnya.. "senenganne kok pamer 😏" 
Sampai sampai ada meme yang berkata bahwa "skeptis melulu mungkin hidupnya kurang bahagia 😅 " 
tapi kalau kita biasa biasa saja kita akan menanggapi dg santai. Jadiii jagaa yaa jaga pikiran dan hati (ini berlaku juga buat saya) 
Lantas bagaimana dg saya?  Saya pikir kalau apa yang disampaikan apa adanya sih wajar saja karena kadang orang butuh "pengakuan" dari orang lain. Lain halnyaa kalau saya tau kehidupan aslinya seperti apa..tapi kemudian di beda lagi di sosial media...alamakkkkk 🙈🙈🙈 ada juga yang ngegemesin seperti itu hahha.. Tapi kembali lagi itu hak setiap orang...saya tidak punya hak menghakimi orang lain sedang saya sendiri masih butuh perbaikan disana sini 😊 ya kann... 

Sebagai seorang pendidik, kadang ironis rasanya, tidak jarang saya mendapati siswa yang asyik sendiri dengan handphonenya tanpa mengindahkan gurunya yang berbuih buih menerangkan, sudah tidak ada lagi etika dan sopan santun terhadap guru contoh saat berpapasan dengan Guru malah sibuk mantengi hp nya atau pura pura tidak melihat.

Namun tidak jarang juga kejadian seperti ini, saat menghadiri sebuah perkumpulan(yang orang-orangnya tidak akrab) saya sering terjebak dalam situasi "krik krik" yang dimana tidak begitu mengenal teman disekeliling kemudian pelampiasannya utik utik hp sendiri..sebenarnya kenapaa?? ya karena jengah kurang bahan bicara hahaha.. dan nyatanya hal itu juga yang dialami oleh orang-orang.

Lantas bagaimana solusi saya terhadap diri saya sendiri?
Kuncinya cuma satu yaitu memiliki KESADARAN, mengasah atau emunculkan kesadaran pada diri sendiri.
SADAR kapan saat berbagi cerita dan hal  mana yang harus di keep atau dishare dalam sosial media.
Sudah lama saya mengurangi postingan daily activity di sosial media. dan alhamdulilah sudah semakin sering tidak posting. kenapa? saya sadar hal pribadi adalah privasi yang tidak semestinya di share, hal itu tidak perlu dilakukan karena nyatanya orang tidak butuh itu. Tidak semua orang suka dengan kita terlebih apa yang kita lakukan, saya juga bukan artis, saya hanya seorang ibu yang belum sempurna. 
Tapi saya tidak berlaku antipati jugaaa...., kadang saya masih memilih sosial media sebagai tempat berinteraksi atau berekspresi mengungkapkan hal yang saya rasa perlu dishare hanya saja saya batasi yang umum-umum aja..maksud saya bukan curhatan lebay..haha heiiii pleaseeee!! setiap orang punya masalah hidup masing-masing dan kadar susahnya sudah diatur dengan manis oleh Tuhan..gituh loo :D jadiii enjoy aja..

Memiliki kesadaran untuk lebih berusaha bersikap lebih friendly terhadap lingkungan baru.
Sebisa mungkin dengan sekuat tenaga saya berusaha melepas HP saya ketika di wilayah publik..lantas bagaimana caranya mengatasi kebosanan? ya dengan membaca buku atau saya kenalan dengan jejer saya, saat membuka obrolan lantas jadi mengalir begitu saja. Saya jadi teringat saat dulu kita belum (kini justru) terpisah oleh teknologi bernama smartphone, tablet, pablet, ngobrol asyik dengan siapa saja tanpa perlu kawatir dengan istilah "kepo" atau "narsis" atau "pamer"..kini ngobrol dengan orang asing atau baru dikenal seperti sebuah saat yang langka dan ajaib.
Contohnya kemarin, saat bosan menunggu antrian dokter, saat saya memasukan anak saya yang bernama "smartphone" ke dalam tas dan mengobrol dengan ibu/bapak di sebelah saya rasanya seperti dunia baru yang lain terbuka buat saya..saya jadi tau, semakin menyadari dan diberi kekuatan bahwa sakit yang saya derita tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan oleh orang lain. bBeban hidup yang saya pikul wuihhhh tidak ada apa-apanya dibanding teman ngobrol saya. Dan saya menyadari kemana aja sayaaa?? jadi selama ini saya  telah diperbudak teknologi kecil ini tapi tidak segera menyadarinya?? alih alih membela diri karena unsur kepentingan

Memiliki Kesadaran kapan saat waktu buat keluarga, bukan "waktunya buat smartphone".
Kadang seharian bekerja, kita mikirnya wuihh enaknya sampai rumah selonjoran istirahat. Tapi yang terjadi saat istirahat tersebut masak bengong..lumrahnya yang terjadi sekarang kemudian megang HP kalau punya anak kecil rebutan remote tv. Sampai kemudian saya pada titik "lupa diri" lupaaaaa bahwa saya ini seorang ibu, juga istri yang keberadaan saya dirumah itu sangat di dambakan oleh suami dan anak. Iya benar bahwa saya sudah mengerjakan pekerjaan rumah, sudah selesai memasak, mereka sudah makan kenyang..tapi mereka juga butuh saya untuk bercanda bersama. Dan parahnya lagi saya tidak segera menyadarinya..saya menganggap "ora dolanan hp" tapi balesi notif atau chat chat yang ada di grup, kebetulan saya adalah wali kelas juga mengurus dapodik.
Well saya selalu membuat alasan untuk diri sendiri..ahh gak papa wong saya sudah menjalankan tugas rumah saya. Sampai kemudian suami mengungkapkan isi hatinya...jiahahaha saya benar-benar bodoh untuk tidak cepat menyadari, kurang peka, padahal suami sudah mencontohkan dia kalau sampai dirumah HP langsung disimpan. Akhirnya muncul kesepakatan dan komunikasi diantara kami. saya merasa kok teknologi jadi mengikat saya sehingga saya tidak punya kehidupan pribadi lagi ya? setiap orang harus punya prioritas dalam hidup ini. Tidak masalah juga chat tidak langsung dibahas atau waktu konsultasi bisa menunggu saat waktu saya buat keluarga dirumah selesai.
Setelah dipraktekkan..bonding diantara kami semakin kuat, kami menikmati waktu kami bersama tanpa terbeban oleh apapun. 

Memiliki kesadaran bahwa sebenarnya banyak hal disekitar yang bisa dilakukan untuk mengisi "bengong time". Sibukkan diri dengan aktifitas yang positif.
Saya memperbanyak aktifitas menyibukkan diri dengan pekerjaan dan waktu yang berkualitas dengan keluarga. Saya pernah menulis sedikit penelitian kecil berdasarkan pengalaman, ternyata orang kalau kebanyakan ganggur atau tidak punya prioritas akan lebih mudah updet status..dikit-dikit updet istilahnya sampai mau (maaf) toilet aja sempet-sempetnya updet dulu hahaha..
Berdasarkan pengalaman, ini terjadi saat saya libur..kalau kita cuma males-malesan itu akan  mudah tergoda dengan updet yang tidak penting.

Saya menulis seperti ini, bukan antipati terhadap sosial media..kadang sosial media masih menjadi tempat saya berexpresi kok hanya saja agak membatasi diri atau lebih tepatnya istilah jawa, "nepakke awakku" artinya saya suka jengah saat baca status yang terlalu curcol masalah pribadi, nahh saya nepakke diri saya kalau saya begitu pasti orang lain juga tidak akan suka. dan saat kita nulis di status orang akan lebih banyak keponya daripada yang benar-benar peduli. penilaian orang bisa saja bermacam-macam terhadap kita, karena media sosial media hanya muat beberapa karakter dan tidak cukup mampu menjelaskan maksud dari kalimat yang kita tulis maka lahirlah bermacam-macam persepsi orang terhadap kita dan persepsi orang tersebut juga dilandaskan dari like and dislike terhadap kita secara personal. Menurut saya loo innii..jangan marah kalau pendapat anda berbeda. Dan setelah saya menjalani keempat cara saya diatas, kehidupan saya jauh lebih nyaman dan tenang.




Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti seminar tentang "sosial media in sosial life" yang diadakan oleh Komisi Pemuda GKJ Gondokusuman bertempat di UKDW.
Cukup menarik karena menghadirkan pakar-pakar dibidangnya.
Yang menarik bahwa sosial media yang bertujuan untuk membantu orang-orang untuk berkomunikasi  sehingga memudahkan kita untuk berkomunikasi malah justru menjadi penghambat dalam hubungan bersosial. mengapa bisa begitu?

Pakar psikolog menjelaskan bahwa muncul kecenderungan kehidupan sosial yang ditonjolkan di media sosial bukan kehidupan nyata atau real namun kehidupan ideal yang diinginkan orang-orang. Masing-masing kita menciptakan figur ideal lah..kurang lebih seperti itu. Dan sosial efeknya terasa banget contoh kecil: persaingan OOTD (istilah dalam istagram Outfit Of The Day), ajang pamer sampai persaingan..semua itu demi mendapatkan pengikut yang banyak atau like yang banyak, dan itu akan memunculkan suatu  kebanggaan diri.
itu bukan kata saya looo itu kata ibu pakar psikologi yang juga dosen UNY Pratiwi Wahyu Widiarti, M.Si

Pakar kebudaan dan sosial yang juga penulis buku, DR. Argo menyampaikan..ada pergeseran budaya dan norma-norma sosial terutama dalam hal budaya 'unggah ungguh' tidak ada lagi batasan dalam menyampaikan pendapat, tidak ada lagi kontrol diri dalam bersikap. Budaya ketimurannya sedikit demi sedikit terkikis.
Dan kata kata beliau ini yang saya suka dan setuju bahwa: "Posisikan sosial media sebagai SARANA dan BUKAN tujuan utama. Bijak dalam penggunaannya"

Hadir juga seorang entrepreneur muda CEO Messenjah. Yohanes Triatmaja, yang justru meggunakan dan memanfaatkan  sosial media sebagai ajang berkarya menghasilkan sesuatu dengan karyanya serta membantu perekonomian orang lain dengan bisnisnya.
Apa yang kitab ucapkan, apa yang kita lakukan, apa yang kita tulis, tanggung jawabnya kepada Tuhan.

Dan ditutup dengan manis oleh Vikaris GKJ Condongcatur Risang Anggoro mengatakan kecanduan smartphone menyebabkan otak tidak reflektif lagi tapi reflek. Contoh saat menerima berita hoax tidak dipikirkan dulu baik buruknya dulu tapi reflek jari-jari langsung mensharekannya. Reaktif + Refleks = Viral Hoax.

  • Contemplate before we post! Yesus senantiasa menyediakan ruang kontemplasi dalam kehidupannya Luk 5:16, Mat 26:39.
  • Sindrome bebek. Orang yang terlihat tenang diatas tetapi di dalam sebenarnya tidak. 
  • Alter Ego untuk Ego. Paradigma atau pandangan idealis vs realita. (seperti yang disampaikan oleh ibu psikolog tadi)
  • Be humble and be your self. Mari berinteraksi dalam sosial media dengan kesadaran hati.
  • social media is a media not even the media
  • Berhati hatilah dengan echo chamber efect
  • break the chamber, be a peacemaker luk 10:25-37 bertindaklah seperti orang samaria yang murah hati dalam kehidupan yang nyata
Yups itulah pemikiran-pemikiran saya...
itulah pengalaman hidup saya...
Mari kita berkontemplasi sebelum posting, mari kita sama sama menyadari posisikan sosial media sebagai sarana dan bukan tujuan utama :) 
bijaklah dalam penggunaanya..